Sabtu, 22 Agustus 2009

RindU untuk Papa Dan RenDi, ,

Perutku mulas, sakit sekali. Berkali-kali aku berteriak dan menangis. Kupegang perutku yang besar. Kutarik-tarik selimutku. Kugigit bibir bawahku. Oh… tak kuasa kutahan rasa sakit ini. Walau begitu, aku tetap berusaha melahirkan secara normal. Aku ingin anak pertamaku lahir dengan selamat.
Aku bersyukur suamiku selalu setia menemaniku. Kupegang tanganya dengan erat. Dia lalu mengecup keningku. Persalinan akan segera berjalan. Dokter dan perawat yang menanganiku sibuk mempersiapkan peralatan bersalin.
Rasa sakit ini terus timbul, kemudian hilang lalu timbul lagi. Ah… sakit Mas! Aku menangis kecil.
Jam di dinding ruangan menunjukkan pukul delapan malam, itu adalah waktu di mana anakku yang pertama lahir. Dokter mencatatnya sebagai catatan untuk akte kelahiran anakku.
Ku lihat bayi mungil di sampingku. Laki-laki yang akan menjaga ibu dan ayahnya kelak. Tampan seperti ayahnya. Suamiku lalu adzan di kuping kecil anakku dengan perlahan.
“Kuberi nama anakku dengan Rendi,” ucap suamiku padaku sambil menggendongnya di sampingku.
Aku tersenyum kecil, menatap kedua belahan jiwaku, suami dan anakku yang baru saja merasakan nafas dunia.

* * *

Waktu terus berjalan. Anakku sudah menyelesaikan S1-nya di salah satu Universitas Jakarta. Tak terasa batin seorang ibu menjiwa di ragaku. Betapa bahagia hati seorang ibu melihat anaknya sukses. Oh, Tuhan… entah kata-kata apa yang ku ucapkan selain ku panjatkan puji syukur kehadirat-Mu, Tuhan.
“Ma, besok aku dan teman-teman kampus akan mengadakan perpisahan, jadi besok aku harus pergi.”
Pikiranku tersadar ketika anakku berbicara dengan senangnya.
“Kamu mau pergi kemana Sayang?” ucapku sambil membelai rambut hitamnya yang lebat.
“Ke Puncak.”
“Nginep…?”
“Ya…, cuma lima hari, Ma.”
“Kamu sudah izin sama Papamu belum?”
“Kata Papa sih, boleh.”
“Ehm…, kamu nih bisa saja deh bikin Mama dan Papa khawatir,” ledekku.
“Mama cantik lho, klo kaya gini…,” ledeknya dengan pujian padaku.
“Ehm…, buat Mama ge-er tuch….”
* * *

Esok hari….
Aku lihat anakku sedang membereskan pakaiannya ke dalam koper. Hari ini dia akan berangkat ke Puncak bersama teman-temannya. Berat rasa untuk membiarkan dia jauh dariku. Aku ibunya, yang punya perasaan sedih bila ditinggal seorang anak apalagi dia anak satu-satunya. Pikiranku terbuyar ketika suara telepon berdering.
“Halo, Ma. Papa hari ini mendadak rapat di Malaysia, urusan bisnis yang harus papa selesaikan.”
Kudengar suara suamiku di telepon dengan nada terburu-buru.
“Papa sama siapa perginya?”
“Sama klien, Ma.”
“Berapa hari…?” tanyaku dengan sedih.
“Cuma seminggu kok, Mama tenang saja. Papa pasti cepat kembali, Mama jangan sedih gitu dong…,” ujarnya manja.
Entah mengapa hati kecil ini tak merelakan dua orang yang kusayangi pergi. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi hati ini tak tenang. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Seperti dapat wangsit saja…! Ah, lupakan! Aku harus tetap tersenyum.
“Hati-hati ya, sayang…, jangan lupa kasih kabar sesampaimu di sana,” kataku penuh kekhawatiran pada suamiku.
Akhirnya kata-kata itu sebagai penutup pembicaraan lewat telepon.
“Ma! Aku berangkat!” Sambil mencium kedua pipiku dan tanganku. “Rendi sayang Mama. Daag!”
“Hati-hati sayang…, jaga dirimu di sana. Mama selalu mendoakanmu.”
Lambaian tangan memberi isyarat ketika anakku sudah berangkat dengan mobil yang dia kendarai.
Satu hari di rumah tanpa keceriaan keluargaku, sedang apa mereka? Aku ingin menelepon, lalu kutelepon. Ah nada handphone anakku tidak bisa terhubungi. Lalu kutelepon suamiku, ia pun sedang sibuk meeting. Bagaimana kulepas kerinduanku untuk mereka? Ingin kudengar suaranya.
Hari kedua sejak suami dan anakku pergi, aku merasa pusing. Mungkin aku sedang tidak enak badan, aku istirahat sejenak. Kutunggu kabar dari mereka, tapi tak ada. Tapi tiba-tiba….
Suara telepon dalam pesan suara.
“Ma, gimana kabarnya? Papa kangen sama Mama dan Rendi. Beberapa hari lagi Papa pulang. Sabar ya, Ma. Nanti….” Beberapa kata kudengar. Ya..., hanya pesan Suara yang kudapat. Aku tak kuasa ingin memeluk suamiku dan anakku. Walau anakku dan sumiku beberapa hari lagi akan pulang, batinku berkata bahwa aku mungkin tidak akan bisa lagi memeluk mereka berdua.
Beberapa hari kemudian…
Pesan suara di telepon itu terdengar kembali.
“Ma, hari ini Papa pulang cepat. Bisnis Papa cepat terselesaikan. Jadi, Papa bisa ketemu Mama dan Rendi hari ini. Tunggu Papa di rumah ya, Ma.”
Kudengar berita itu dan begitu senangnya suamiku akan kembali.
Suara bel rumah pun berbunyi. Berkali-kali.
“Assalamualaikum…, Ma, Ma, Rendi pulang, Ma!” sambil berlari membuka pintu.
Tak lama kemudian suamiku datang.
“Ren, Papa pulang,” sambil memeluknya.
“Oh ya, Pa. Mama kok nggak ada sih?”
“Ah, masa… mungkin lagi di kamarnya.”
Aku melihat anak dan suamiku datang, aku pun mendengar pembicaraan mereka. Tapi aku tidak bisa memeluk mereka. Tidak bisa.…
Mereka mencariku ke setiap ruangan. Akhirnya mereka menemukanku tergeletak di lantai kamar mandi. Ada apa denganku? Makin lama tubuhku ringan. Jauh dari mereka. Aku lihat di bawah sana, anakku dan suamiku memelukku sambil menangis. Tapi aku tak dapat merasakannya….

21 November 2007

Tidak ada komentar: