Jumat, 21 Agustus 2009

BalaDa seorang,,,,,,,,,

Setelah beberapa jam lamanya aku berada di dalam pesawat, akhirnya sampai juga aku di kota yang sangat aku dambakan ini. Kulihat bandaranya begitu luas seolah tiada yang menandingi. Dengan hati yang berdebar, aku lanjutkan langkah kakiku turun dari pesawat yang mengantarku dari Medan ke Jakarta. Di sinilah awal perjalanku dimulai. Aku seorang perantau yang sendiri tanpa didampingi keluarga atau teman yang kukenal. Di mana aku harus tinggal? Apa yang harus aku lakukan di sini…? Hatiku selalu bertanya dan bertanya setiap kali kaki ini melangkah. Entah harus bagaimana…, aku masih merasa asing di kota yang megah ini. Apalagi tidak satupun orang yang kukenal. Namun, tekadku untuk terus bertahan di Jakarta tetap kujalani. Hidupku masih ke sana ke mari mencari tempat tinggal. Kadang sehari pun aku tidak makan. Hidupku benar-benar susah. Mungkin ini cobaan dari Tuhan. Dari hari ke hari aku selalu mencari pekerjaan, dari satu tempat ke tempat lain. Tiada lelah. Harus berjuang! Itulah diriku saat itu.

* * *

“Dasar anak tidak tahu diri! Seharusnya kau bersyukur karena Pamanmu ini masih mau menampung kau. Orangtuamu sudah tidak mampu lagi memberi makan adik-adikmu! Apalagi ayah dan ibumu yang selalu menyusahkanku. Keluarga kalian hanya membawa bencana bagiku! Cepat sana, kau kerjakan lagi perkejaanmu,” bentak Paman Ben padaku sambil memukul punggungku dengan sebuah rotan.
Paman Ben adalah adik dari ibuku sendiri. Dia seorang mandor perkebunan milik salah satu pengusaha dari Jakarta. Namun, dia memiliki sifat kikir dan sombongnya yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Aku memang tinggal di rumah paman, tapi aku tidak pernah menyusahkan keluarganya. Aku berusaha mengurus pekerjaan rumah, dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai sampai membersihkan kandang bebek milik paman.
Namun, kali ini aku dimarahi oleh paman karena tidak sengaja memecahkan piring kesayangannya ketika aku membereskan piring yang masih bertumpuk-tumpuk. Aku hanya bisa pasrah, lagipula paman sudah banyak membantu keluargaku. Tapi hati ini tidak mau menerima ucapan paman yang sudah menjelek-jelekkan keluargaku padahal masih saudaranya sendiri.
Semenjak kejadian itu, aku tidak mau lagi tinggal di rumah paman. Aku pergi dari rumah dan hanya secarik kertas yang aku tuliskan untuk ibu dan bapakku. Aku menitipkannya kepada salah satu sahabatku yang terbaik.

* * *

Sudah beberapa bulan aku menetap di Jakarta. Tepatnya di sebuah apartemen milik temanku. Namanya Andrew, dulunya seorang perantau juga dari Lampung. Walaupun baru kukenal, aku bisa merasakan dia orang yang baik dan mau hidup bersama dalam suka dan duka
Sampai suatu hari, dia mengajakku untuk menjadi pemain figuran sinetron. Aku tidak pernah tahu apa yang namanya casting. Andrewlah yang mengajariku banyak hal tentang dunia hiburan. Awal mulai aku menjadi pemain figuran sinetron sampai akhirnya aku mendapatkan dialog bersama pemeran utama, Andrew jugalah yang memberiku semangat. Dia menginginkan agar aku berhasil di Jakarta. Aku bercerita banyak tentang perjalanan hidupku yang penuh duka. Mungkin dari situlah dia selalu memberiku inspirasi.
Lambat laun, orang-orang banyak yang mengenalku sebagai artis pemain sinetron, hingga ada seorang manajer artis berniat akan membuatku lebih terkenal dari yang aku rasakan saat ini. Dia bernama Anton. Masih muda dan tampan, tetapi karirnya begitu sukses sebagai manajer artis. Aku tidak pernah berpikir takut untuk terus maju, walaupun aku tahu pasti banyak godaan yang terjadi. Aku membuat jadwal pertemuan dengannya besok siang jam setengah sebelas di salahsatu kafe terbesar di Jakarta.

* * *

Aku hanya duduk-duduk sambil melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah setengah jam aku menunggu kedatanggannya. Uh…, kenapa juga aku tidak sekalian minta nomor telepon genggamnya? Aku bergumam sambil sesekali menghisap rokok yang tinggal setengah itu.
“Maaf…, aku terlambat.”
Aku menengok ke belakang, dan ternyata itu Anton yang baru saja datang dengan kemeja merah yang dia kenakan. Begitu tampan dan gagah…. Duh, kok aku jadi salah tingkah begini. Kita kan sama-sama lelaki sejati. Pikirku gugup.
“Ah…, enggak apa-apa kok…, Cuma telat sedikit,” jawabku dengan memberikan senyum termanis untuknya.
Aku dan Anton akhirya membahas beberapa pembicaraan penting. Tentunya untuk kepentingan keartisanku agar lebih terkenal lagi. Sudah lebih dari dua jam aku dan dia saling berbicara, dan….
“Bagaimana kalau kamu ikut ke apartemenku? Supaya kita bisa lebih kenal satu sama lain,” ajak Anton merayu.
Tanpa aku berpikir panjang, kuanggukan kepala sebagai tanda setuju atas permintaannya. Akhirnya, kami berdua meninggalkan tempat itu menuju apartemen miliknya Setelah sampai tujuan, aku sempat beristirahat sejenak, sampai aku tertidur pulas di atas tempat tidur. Tanpa rasa curiga terhadapnya saat awal bertemu, aku tidak sedikit pun beranggapan aneh tentangnya. Namun, kali ini yang membuatku merasa tidak percaya adalah saat tubuhku disentuhnya ketika aku tertidur. Aku terbangun, aku menyingkir, aku….
“Kamu tidak perlu takut…, sejak pertama kali bertemu, aku sudah suka denganmu,” ungkapnya seperti orang sedang jatuh cinta.
Ya, ampun! Aku benar-benar tidak percaya…, seorang pria menyukai sesama jenis. Aku baru tersadar kalau aku berada dalam kehidupan nyata. Aku pun tidak bisa menolak bahkan tidak bisa menghindar darinya ketika dia mulai mencium rambutku, lalu sampai ke mata, dan mulailah dia mencium bibirku. Entah setan apa yang merasuk pikiranku, kenapa aku mau melakukan hal terlarang itu? Dan yang lebih parah lagi adalah ketika dia mulai memainkan alat kelaminku, sampai akhirnya nafsuku memuncak. Kami melakukan sesuatu yang membuat seperti melayang di awan. Nikmat! Indah! Ah…, membuatku menginginkan lagi dan lagi.
Dari awal itulah, lambat laun sudah menjadi virus yang menyebar dalam aliran darahku untuk menyukai sesama jenis. Saat itu aku sudah tidak berpikir akan dosa yang hina ini. Aku hanya berpikir, aku harus mendapatkan segala yang kuinginkan dengan jalan apapun.
Anton memberikan segala apapun yang kupinta. Dari mobil sampai rumah. Kehidupanku benar-benar berubah. Sampai suatu hari, ketika sedang berbelanja di salahsatu supermarket di Jakarta, aku tidak sengaja melihat wanita yang begitu anggun dan cantik Aku melihatnya tanpa berkedip sedikit pun. Aku benar-benar menyukai wanita muda itu. Kemudian, aku mengejarnya ketika dia akan pulang dengan kendaraan yang menjemputnya di parkiran mobil.
“Maaf…, mengganggu. Boleh aku berkenalan denganmu?” tanyaku sambil menarik nafas dalam-dalam aku begitu kaku dan mulai seperti patung ketika dia memberikan sebuah senyuman yang begitu manis padaku. Ah…, cantik sekali.
“Kenalkan, namaku Cherly,” sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Namaku Tio.”
Sejak perkenalanku dengannya, aku menjadi tambah akrab. Aku juga sering mengajaknya jalan-jalan dan berbelanja. Maklum, uang belanja yang diberikan Anton untukku selalu aku pakai untuk Cherly. Aku benar-benar mencintai wanita muda nan anggun itu.
Sampai suatu hari, hubungan aku dan Cherly diketahui oleh Anton. Dia marah dan tanpa perlawanan, dia pun memukuliku sampai lebam di sekujur tubuh. Ternyata dia begitu cemburu padaku. Bahkan, dia mengancam akan membunuh cherly. Tidak! Aku tidak akan membiarkan dia menyentuh sedikitpun wanita yang kucintai. Sampai mati pun aku akan tetap melindunginya. Aku benar-benar baru mengetahui kalau berhubungan dengan sesama jenis lebih menyeramkan. utnuk sementara waktu, aku rela untuk tidak berkomunikasi dengan Cherly untuk mencegah hal yang tidak kuinginkan.
Beberapa hai kemudian, aku menerima sebuah kado besar. dibungkus dengan rapih dan dihisasi oleh pita-pita cantik. Aku begitu penasaran, karena tidak seorang pun tahu di mana aku tinggal kecuali Anton. Tapi…, mana mungkin Anton mengirim kado sebesar ini. Hampir seperti kardus berukuran besar. Akhirnya, tanpa berpikir apa pun, aku langsung membuka kado tersebut. Setelah membuka kertas kadonya, mulai membuka isinya. Ada sebungkus plastik hitam yang banyak bersimbah darah. Apa ini? Hatiku bertanya-tanya. Begitu takut, begitu khawatir, sampai-sampai tubuhku gemetar dan banyak mengeluarkan keringat. Entah apa isi dari plastik hitam tersebut, yang jelas aku benar-benar takut. Kemudian, perlahan aku membuka isi plastik itu, dan…. Ya, Tuhan! Itu adalah potongan kepala Cherly. Aku lemas tidak berdaya. Wanita yang kucintai itu sudah mati. Aku benar-benar menyesal atas perbuatanku, sehingga cintaku harus dibayar dengan nyawa….


28 November 2008

Tidak ada komentar: