Jumat, 21 Agustus 2009

MirA

Sejak pertama kali melihat wanita tua itu sedang duduk di kursi deretan yang terletak di dalam stasiun kereta api, Kebumen, aku seperti melihat gadis cantik yang kukenal waktu di bangku SMA, empat puluh tahun silam. Wanita tua itu mungkin seusiaku saat ini. Ya… biarpun sudah tua aku tetap gagah seperti dulu. Hatiku berbangga diri.
Umurku sekarang lima puluh delapan tahun. Dapat dibayangkan, dari usiaku tentunya terlihat tua dengan rambut penuh uban, kulit yang keriput, dan… ah… lupakan saja. Tua-tua begini aku masih terlihat ganteng. Lihat saja wanita-wanita muda itu yang berjalan di depanku menatap penuh kekaguman. Hatiku berucap penuh percaya diri. Pikiranku buyar kembali ketika kereta api telah berhenti di stasiun ini. Bunyinya khas sekali dengan suara klakson seperti dentuman bom serta bunyi peluit petugas kereta api pun menghiasi suasana stasiun.
Sudah saatnya aku berangkat ke Jakarta, tiket yang kubeli akhirnya kuserahkan kepada penjaga pintu masuk gerbong kereta api. Kulihat pula beberapa orang berdesak-desakan memasuki gerbong kereta api. Ah… sudahlah, tak perlu aku menghiraukan mereka.
Kudapati kursi yang belum terisi. Kutempati dan kusenderkan bahu ini pada punggung kursi. Aku sengaja memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela agar aku dapat melihat pemandangan ketika kereta sudah berjalan. Kulihat ke luar jendela, pedagang lalu-lalang turun naik gerbong untuk menjajakan dagangannya. Ada pula yang mereka tawarkan dagangannya lewat jendela.
“Pecel, pecel…, lontong pecel….,” teriak seorang ibu pedagang pecel.
“Keripik kentang…, kacang…, kacang…!” teriak salah satu pedagang di belakang Ibu itu.
Baik di dalam maupun di luar gerbong, pedagang bersahut-sahutan mempromosikan dagangannya. Ramai! Berisik! Mungkin itu sudah tradisi dari sebuah suasana kereta api.
“Permisi, Pak…,”
Oh… wanita tua itu lagi. Mengagetkan saja! Gerutuku dalam hati. Ternyata dia mau duduk di sebelahku. Tepatnya di samping kananku. Aku tak bisa menolak karena kursi yang lain telah terisi semua. Penuh! Kereta api pun akhirnya diberangkatkan. Suara seperti dentuman bom dan peluit itu terdengar dalam mengiringi keberangkatan kereta api.
Di hadapanku duduk dua orang bapak yang sudah sangat tua melebihi dari umurku mungkin. Hanya saja yang duduk tepat berhadapan denganku berbadan gemuk dan berkaca mata tebal, sedangkan yang berhadapan dengan wanita tua di sebelahku berbadan tinggi, kurus, tapi berwibawa.
Wanita tua itu dengan tenangnya bertanya kepada bapak yang duduk di hadapannya.
“Bapak mau ke Jakarta?”
“Iya, nengok cucu. Sudah lama Bapak ndak ke sana,” jawabnya dengan logat Jawa yang masih kental.
Percakapan mereka ternyata terus berlanjut sampai topik pembicaraan mereka sewaktu muda. Kudengar terus pembicaraan itu. Aku hanya diam membisu. Bapak yang di hadapanku sudah tertidur pulas.
Ah… ngantuk juga. Jadi ingin tidur. Pikirku. Walau sempat aku pejamkan mata, tapi aku selalu mendengar obrolan mereka yang semakin lama semakin serius.
“Ternyata Bapak adalah Kepala Sekolah SMAN X yang di Jakarta Pusat itu, ya? Kebetulan saya juga lulusan tahun 1967. Aku baru ingat, Bapak dulu pernah menghukum saya waktu saya kelas dua. Saya masih ingat kumis Bapak itu sampai sekarang,” ungkapnya dengan penuh kegembiraan.
Betapa kagetnya aku mendengar cerita dari dua orang tersebut.
“Ha-ha-ha…, kamu Mira, toh! Anak paling pintar dan cantik, tapi nakal,” jawabnya dengan tawa seorang yang berwibawa.
“Jadi Bapak masih ingat namaku? Empat puluh tahun sudah kita tidak bertemu,” tanyanya dengan penuh kagum.
“Bapak tidak lupa dengan lesung pipitmu yang masih melekat di antara senyum dan tawamu. Sampai sekarang pun masih terlihat. Cuma bedanya kamu sudah tua. Ha-ha-ha. Lagi pula siapa tidak kenal Mira. Siswa yang selalu buat pusing guru-guru di sekolah,” jelasnya sambil bercanda.
Aku jadi teringat, sosok gadis yang kucintai waktu itu. Ketika aku duduk di bangku SMA.

* * *

Pada hari Senin….
“Hei, Mir! Kamu terlambat lagi, ya?” tanyaku penasaran.
“Iya, padahal kan cuma terlambat tiga puluh menit. Masa aku di hukum! Disuruh membersihkan kamar mandi lagi!” jawabnya sambil mengeluh.
“Mira…, Mira…, tiga puluh menit itu bukan waktu yang sebentar. Pantaslah…, kamu terima hukuman itu. Lagi pula siapa yang suruh kamu terlambat?” ledekku dengan tertawa sekali-sekali.
“Kamu, bukannya membelaku, malah ngeledekkin,” dengan raut wajahnya yang cemberut.
“Duh…, kamu tambah cantik kalau cemberut…,” ledekku sekali lagi.
Akhirnya, dia pun menyerah juga. Tidak kuat menahan geli di pikirannnya. Kami berdua tertawa bersama.
Waktu terus berjalan….
Semakin hari hubungan kami berdua bertambah akrab. Itulah pertama kalinya aku jatuh cinta. Senyumnya tak pernah lepas dari bayanganku. Lesung pipitnya membuatnya tersenyum manis.

* * *

Tiba saatnya ujian kelulusan berlangsung.
Sudah lima bulan kami berpacaran, tapi semangat belajar kami tak pernah terlupakan. Belajar adalah hal utama yang harus kami lakukan demi cita-cita. Akhirnya, pengumuman akan kelulusan siswa di pasang di dinding sekolah. Semua siswa lulus. Semua sangat bahagia hari itu. Aku mendengar teman-teman akan melanjutkan ke bangku kuliah. Ada pula yang ingin bekerja. Sebagian ingin menikah, khususnya teman perempuan. Namun, aku juga berpikir akan kemana lagi setelah aku mendapat ijazah SMA? Bekerja? Ataukah kuliah?
“Mir, menurutmu apa yang terbaik untuk hidupku kelak?” tanyaku dengan keragu-raguan.
“Andai aku adalah dirimu, aku akan belajar terus sampai cita-citaku tercapai. Apalagi ekonomi keluargaku berkecukupan,” jawabnya penuh saran.
“Baiklah, aku akan melanjutkan program belajar ke perguruan tinggi,” jawabku santai.
“Lantas, perguruan tinggi mana yang kamu pilih dan jurusan apa?” tanyanya heran.
“Entahlah…, aku akan berbicara lebih dahulu dengan kedua orang tuaku. Mungkin aku akan memilih jalur hukum. Sepertinya aku akan belajar di Kota Yogyakarta.”
“Hebat. Aku bangga padamu, tapi…,” tampak sedih.
“Kenapa? Tapi apa? Kamu takut jauh dariku? Aku akan berusaha memberimu kabar. Mengirim surat bahkan aku akan berkunjung ke rumahmu.”
“Untuk berapa lama kamu di sana? Sesering mungkinkah kamu mengunjungiku? Atau bahkan tidak sesering kita bertemu seperti sekarang ini?” Jawabnya penuh kesal.
Itulah perdebatan terakhir aku dengan Mira. Akhirnya, berangkatlah aku ke Yogyakarta untuk melanjutkan belajarku ke perguruan tinggi di sana. Sejak kedatanganku di sana, aku memang sudah betah. Mudah juga dalam mencari teman. Merasa terhibur dan ada teman berdiskusi. Tidak hanya aku yang merantau, teman-teman dari luar kota bahkan dari luar negri juga banyak yang datang untuk belajar.
Namun, hatiku masih tetap mimikirkan Mira. Cinta pertamaku yang kutinggalkan di Jakarta. Mira memang tinggal bersama bibinya di Jakarta. Aku tidak tahu kehidupan yang sebenarnya dari seorang Mira. Yang aku tahu hanya Miralah yang telah mengisi hatiku saat ini. Pikiranku masih teringat akan senyumannya. Walaupun jauh, aku tetap berkirim surat padanya. Berkali-kali. Bahkan setiap bulannnya. Tidak satu pun surat yang terbalas. Setahun sudah aku kuliah. Hatiku penasaran karena tidak ada kabar dari Mira. Maklumlah, aku dan Mira juga tidak punya telepon saat itu. Jadi hanya dengan suratlah aku dapat memberinya kabar.
Akhirnya, saat libur semester tiba, aku pulang ke Jakarta dan mampir ke rumah Mira.



* * *

“Mbok ndak tahu, Mas…,” kata pembantu rumahnya menjelaskan. “Mbok hanya tahu kalau Non Mira tinggal bersama orang tuanya. Sudah pindah.”
“Mbok tahu, alamat atau nomor telepon yang bisa dihubungi?”
“Wah, Mbok benar-benar ndak tahu, Mas….”
“Benar-benar ndak tahu, Mbok?” tanyaku penasaran.
“Iya, Bapak dan Ibu juga ndak menitipkan alamat atau nomor telepon rumah yang baru sama Mbok.”
“Oh, ya sudah. Makasih Mbok.”
Sejak saat itu, aku dan Mira tidak pernah bertemu. Sampai saat ini, aku mengharapkan agar dapat bertemu dengannya. Walaupun sekarang aku laki-laki yang sudah tua dan memiliki lima orang anak serta sepuluh cucu, aku tetap mencintainya. Sedang apakah dia? Sudah menikahkah dia? Atau bahkan memiliki anak dan cucu lebih banyak dariku? Aku perlahan tersenyum….
Pikiranku buyar ketika wanita tua di sebelahku menyapa.
“Bapak tidak apa-apa?” tanyanya lembut dengan senyuman manis walau tampak keriput.
Ah… senyumannya mengingatkanku pada seseorang. Ya, Mira! Ungkapku dalam hati. Namun, pandangannya begitu mengherankan. Tampak sorotan matanya memperhatikan wajahku secara seksama. Ia seperti mengingat-ingat pikirannya pada seseorang.
“Darmawan!”
Aku kaget akan perkataannya menyebut namaku. Darahku mengalir deras. Jantungku berdetak kencang. Lemas tak berdaya. Apa mungkin wanita tua itu, Mira? Gadis yang kucintai dulu. Gadis yang membuatku patah hati juga….

21 November 2007

Tidak ada komentar: