Jumat, 21 Agustus 2009

MalaM NaiNa di jakarta

Malam ini hujan turun lagi, sama seperti kemarin malam. Namun, hujan kali ini tampak berbeda, ehm…, aku menjadi teringat akan dia yang selalu mengusikku di setiap malam menjelang tidur. Bahkan setiap detik hembusan nafasku. Malam ini terasa amat berbeda, lebih sunyi dari biasanya. Hujan di luar terus mengguyur bumi ini, lagi dan lagi tanpa berhenti.
Oh Malam………biarkan semua tersimpan indah di dalam kesendirian yang kini kujalani. Entah…, malam ini aku merasa rindu akan dirinya. Aku jadi teringat ketika pertama kali kujumpa dengannya di sebuah desa yang belum pernah aku kunjungi.

* * *

Saat itu usiaku baru menginjak sepuluh tahun, masih terlalu polos bagiku menerima kenyataan bahwa harus pindah tempat tinggal di daerah Jawa Timur, sekaligus pindah sekolah. Aku tidak tahu, tidak mengerti apa yang telah terjadi kepada keluargaku sendiri. Padahal, yang kutahu adalah keluarga kami baik-baik saja. Tidak biasanya aku bertanya dalam keadaan marah kepada ayahku sendiri. Ya, aku benar-benar tidak terima kalau harus berpisah dengan keluarga dan teman-temanku yang lain di Jakarta.
“Kenapa sih, harus pindah segala ke sini? Naina kan ‘gak mau!” bentakku pada ayah yang saat itu masih duduk santai di depan rumah yang baru ditempati.
“Naina sayang…, kok bicaranya kasar sama ayah…. Ada apa sayang? Sini…, bicara baik-baik sama ayah,” sambil memegangi tangan kananku dan menarikku kepangkuannya.
“Ayah jahat! Ayah ‘gak sayang lagi sama Naina! Buktinya, ayah membiarkan Naina meninggalkan teman-teman Naina di sana,” ucapku sambil menangis.
“Naina sayang…, justru ayah sayang sama Naina. Makannya kita semua pindah ke sini. Di sini kan indah sekali tempatnya. Tidak ada polusi, tidak ada kebisingan lagi, dan kamu akan mendapatkan teman baru yang banyak. Dan satu lagi,” kata Ayah sambil memainkan matanya yang genit padaku.
“Apa itu, ayah?” tanyaku penasaran.
“Besok kamu akan mulai sekolah lagi di sekolahan yang baru.”
Aku menunduk, diam, lalu….
“Aku enggak mau sekolah!” aku melompat dari pangkuan ayah dan berlari menuju kamarku dan mengunci pintunya.
Ayah dan ibu selalu membujuk aku agar mau bersekolah. Namun, hatiku masih kecewa dengan keputusan ayah yang begitu mendadak. Tapi benar juga, sekeras-kerasnya batu pasti akan hancur juga. Begitu juga aku, sekeras-kerasnya hatiku, pasti akan luluh juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk bersekolah..

* * *

Keesokkan harinya, ibu menyiapkan sarapan untuk bekal aku di sekolah. Sama seperti kebiasaan ibu sewaktu di Jakarta, tidak berubah. Hanya saja yang berubah adalah tempat tinggal kami, lingkungan yang baru, tetangga yang baru.
“Sudah cepat sana, nanti telat,” ucap Ibu padaku sambil perlahan mengecup keningku.
Lalu aku berangkat ke sekolah bersama ayah yang mengantarku dengan mobilnya yang sudah tua. Walau mobilnya itu kadang suka mogok, ayah tidak pernah mau menukarnya dengan mobil terbagus sekali pun. Ayah sangat menyayangi mobil istimewanya itu.
Sekolah baruku memang tidak jauh dari tempat tinggalku yang sekarang. Jadi, aku tidak perlu berlari-lari ketika datang terlambat ke sekolah. Aku jadi ingat waktu di Jakarta, aku selalu datang terlambat ke sekolah. Aku hanya tersenyum kecil ketika mengingat kenangan itu yang kembali hadir.
“Akhirnya, kita sampai juga,” ucap Ayah dengan senangnya.
Aku hanya terdiam, lalu kupandangi sekolah itu. Aku melihat banyak anak-anak bermain bersama dengan riangnya. Banyak juga pedagang menjualkan makanannya. Suasananya tampak berbeda!
“Ayah, pulang!” aku membentak ayahku untuk kedua kalinya.
“Kenapa pulang? Bukannya kamu yang mau untuk sekolah…,” tanya Ayahku yang begitu penasaran melihat tingkahku yang aneh.
“Pokoknya pulang! Masa sekolahan kaya gini.”
Ayahku hanya tersenyum, lalu tertawa.
“Naina, Naina. Namanya juga di desa bukan di kota. Kamu sekarang harus belajar untuk menjadi orang desa,” ungkap Ayah sambil memandangiku penuh kasih sayang.
Aku lalu merenungi apa yang telah diucapkan ayahku. Akhirnya, perlahan aku melangkahkan kakiku ke gerbang pintu masuk sekolah.
“Ayah tidak perlu mengantarku. Aku bisa sendiri. Percaya deh!” ucapku sambil memberikan jempol tangan kananku untuknya.
Ayahku hanya tersenyum, seolah bangga kepada anaknya. Itulah perasaanku terhadap ayahku.
Kemudian, anak-anak yang lain mulai memperhatikan langkahku. Mereka melihatku seolah ada yang aneh. Aku jadi malu dan mukaku mulai memerah.
“Hai, kamu anak baru yang dari kota itu, ya?”
Aku kaget, ternyata ada juga yang menyapaku, dan mau berkenalan denganku.
“Oh, iya. Betul!
“Namaku Dadan. Nama kamu siapa?” tanyanya dengan logat yang polos.
“Panggil aja aku Naina,” jawabku sambil tersenyum.
Lalu, mereka semua menghampiriku dan mulai memperkenalkan dirinya. Ternyata mereka baik dan ramah. Aku jadi semakin senang tinggal di sini.
Semakin hari, aku semakin akrab dengan mereka. Bahkan, aku sudah punya tiga orang sahabat. Namanya adalah Dadan, Ending, dan Sofiah. Mereka bertiga masing-masing mempunyai karakter yang berbeda. Dadan adalah anak yang cerdas dan pintar di sekolah, tinggal bersama neneknya. Dia anak yatim piatu. Kalau Ending, dia itu anak yang lucu dan pintar melawak. Badannya kurus dan rambutnya kribo. Pakai kacamata lagi. Di sekolah, dia mendapat julukan “si Harry Potter”. Nah, sedangkan sofiah itu, hobinya membaca buku pengetahuan. Cita-citanya ingin jadi ilmuan. Ya, ketiga sahabatku itu memang berbeda dari teman-teman yang lain. Aku sangat sayang dengan mereka.
Orangtuaku juga sangat senang aku bergaul dengan ketiga sahabatku. Mereka berdua memang orangtua sekaligus teman bagiku. Lagipula, aku adalah anak satu-satunya.
Dari ketiga sahabatku itu, hanya Dadan yang selalu memperhatikan aku. Dia selalu mengingatkan aku untuk tidak telat makan, tidak boleh meninggalkan sholat, dan harus sopan terhadap siapa pun. Juga ada satu hal yang sudah menjadi kebiasaanku, yaitu dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh Dadan yang datang setiap pulul sembilan malam. Diam-diam mengetuk jendela kamarku, dan aku bukakan jendelanya. Mulailah dia bernyanyi.
“Naina, oh Naina…. Lelapkan tidurmu. Naina, oh Naina…. Pejamkan matamu…. Esokkan cerah, tidurlah tidur….esokkan cerah, jangan lupa berrdoa.”
Begitulah syair lagu yang selalu dia bawakan untukku sebelum aku tidur. Entah, lagu itu sudah menjadi kebiasannku untuk mendengarnya. Dadan memang pintar bernyanyi, suaranya juga sangat merdu. Tidak terasa juga, usiaku sudah delapan belas tahun, tapi lagu sebelum tidur itu pun masih terus dia nyanyikan untukku.

* * *

Entah kenapa, pagi ini ayah dan ibu begitu lain. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan dariku.
“Ibu, Ayah. Kenapa dari tadi aku perhatikan, kalian berdua senyum-senyum aja. Ada apa sih…?” tanyaku penasaran.
Ayah dan Ibu saling memandang, kemudian tersenyum.
“Sejak kamu masih SD dulu, Setiap malam selalu mendengarkan ada anak yang bernyanyi. Lagu dan suaranya indah. Sampai sekarang pun, Ayah dan Ibu juga masih mendengarnya. Sudah saatnya kamu jujur Naina sayang…, sebenarnya yang setiap malam menyanyikan lagu itu siapa…?” tanya Ayah dengan tersenyum padaku.
Aku tidak menyangka, ternyata dari dulu ayah dan ibu sudah tahu akan kejadian ini. Aku hanya terdiam, wajahku langsung memerah, dan seolah beku tidak bisa bergerak.
“Anu, ehm…, itu…, dia….”
“Dadan.”
Ibuku langsung menyahutnya dengan percaya diri. Padahal aku belum sempat berkata siapa orang itu, tapi ibuku sudah tahu.
“Tidak apa-apa sayang…, Ayah dan Ibumu juga senang kalau ternyata kamu menyukai seseorang. Dadan itu kan anak yang baik dari kecil,” kata Ayahku.
“Apaan sih, Yah! Ada-ada saja deh…. Memang benar, Dadan selalu menyanyikan lagu sebelum tidur. Tapi bukan berarti aku menyukainya,” ucapku tersipu. Aku tidak menyangka mereka menanyakan hal itu padaku. Namun, mereka benar adanya, aku memang menyukainya. Tapi aku tidak berucap jujur terhadap orangtuaku. Aku masih malu untuk mengungkapkan perasaanku pada mereka.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Oh,Ya, Ayah pikir sebaiknya kamu melanjutkan belajarmu ke Perguruan Tinggi,” bujuk Ayah padaku.
“Maksud Ayah…, Naina harus kuliah?” tanyaku dengan perasaan ragu.
“Betul. Kamu harus kuliah lagi meneruskan belajarmu agar kelak dirimu menjadi orang yang berhasil. Ayah dan Ibumu selalu merestuimu kemana kamu akan bersekolah kembali, walau kami sangat mencemaskanmu setiap saat,” jawab ayah berwibawa.
Aku terdiam sejenak merenungi kata-kata Ayah, walau hati ini berat mengatakannya.
“Baiklah Ayah…, Naina siap untuk belajar kembali. Mungkin Naina akan melanjutkan kuliah ke Jakarta.”
Ayah dan Ibu kemudian tersenyum padaku. Aku melihat di mata mereka seperti berat untuk berpisah denganku. Namun, yang paling berat bagiku adalah berpisah dengan ketiga sahabatku termasuk dengan Dadan. Aku pasti akan rindu sekali dengan suara dan lagu yang dia nyanyikan sebelum tidur.
Seminggu kemudian, aku mempersiapkan keberangkatanku ke Jakarta. Aku melihat jam dinding menunjukan pukul delapan pagi. Aku siap-siap membawa keperluanku untuk di sana. Rasanya, hati ini akan menangis. Namun, aku harus merelakan jauh dari orangtuaku dan teman-temanku di sini. Aku jadi teringat, ketika dulu aku harus meninggalkan Jakarta, dan sekarang harus meninggalkan desa yang sudah membesarkanku. Ayah dan Ibu mengantarku ke Bandara. Kemudian, kedua sahabatku, Ending dan Sofiah juga datang menyusul. Aku senang sekali mereka datang. Namun, aku tidak melihat Dadan.
“Dadan mana…?” tanyaku dengan rasa kecewa.
Kedua temanku hanya saling menatap dan….
“Dadan tidak mau datang. Dia tidak rela harus kehilangan orang yang sangat dia cintai dan sayangi. Dadan sangat mencintaimu, Naina! Dia selalu curhat padaku,” jawab Sofiah penuh keharuan.
Perasaanku lemas dan seperti membeku mendengar penuturan Sofiah. Aku juga mencintaimu, Dadan! Aku juga tidak ingin berpisah denganmu. Aku benar-benar….
Pesawat yang akan mengantarku ke Jakarta sudah datang. Aku memeluk kedua orangtuaku dan juga kedua sahabatku. Airmataku tidak terasa mengalir membasahi pipiku. Aku juga melihat mereka menangis terutama ibuku. Aku kemudian memasuki pesawat itu, dan masih kulihat mereka di sana. Walau terhalang kaca, airmata mereka masih terlihat. Aku sangat menyesali mengapa Dadan tidak menemuiku? Akhirnya, pesawat ini lepas landas dan terbang ke angkasa yang biru. Dari kejauhan, lambaian tangan mereka terus dilepaskan untuk merelakan kepergianku. Kulihat juga seseorang berlari seperti berteriak kearahku, aku sepertinya mengenali sosok orang itu. Dadan! Ya, benar, itu Dadan! Dia datang, tapi sudah terlambat. Aku sudah pergi, aku sudah tidak di sana. Tidak di sampingmu, tidak lagi mendengarmu bernyanyi untukku.
Itulah saat terakhir kulihat mereka semua. Sudah empat tahun lebih aku tidak bertemu dengannya. Aku hanya berkirim berita melalui surat yang kukirim untuk orangtuaku sebulan sekali. Sekarang, aku sudah mendapat gelar Sarjana Pertanian. Orangtuaku sangat bangga padaku ketika kubaca suratnya yang dikirimnya untukku.
Petir dan kilat yang menggelegar, membuyar lamunanku yang melayang. Hujan di luar sana masih deras. Malam ini adalah malam Naina di Jakarta. Besok aku sudah bisa kembali bertemu dengan orangtuaku. Bertemu dengan teman-teman, juga ketiga sahabatku. Lalu…, bertemu dengan cinta pertamaku….

Bekasi, 21 Januari 2009

Tidak ada komentar: